Selasa, 17 Mei 2011

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


KONSEPSI  KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
Oleh: Muhammad Naim,S.Pd

Guru fisika SMAN 1 Wawo
A. Rasional
Islam adalah agama dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, bahkan untuk kepentingan di dunia dan akherat. Maka sistem politik Islam, kususnya tentang kepemimpinan adalah mengemban amanat dari Allah SWT untuk melaksanakan aturan atau undang-undang yang telah Allah ciptakan berupa aturan Islam. Jadi, kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan dalam rangka diterapkannya aturan Allah SWT di masyarakat yang dipimpinnya. Oleh karena itu pemimpin yang dipilih adalah yang sesuai dengan tujuan kepemimpinan dalam Islam yaitu diterapkannya hukum Allah di masyarakat, dengan ciri utamanya sebagai berikut:
Diadakannya kepemimpinan dalam Islam itu sesuai dengan panggilan utama Islam yang perintah terpentingnya di antaranya adalah shalat dan jihad. Karena itu, Ibnu Taimiyyah menyebutkan, kebanyakan hadits-hadits Nabi saw adalah berkenaan dengan perintah shalat dan jihad, dan Nabi sendiri bila beliau sakit maka berdo'a:
"Allohummasyfi 'abdaka, yasyhadu laka sholaatan wayanka'u laka 'aduwwan."
"Ya Allah, sembuhkanlah hamba Engkau ini, agar ia dapat menghadiri shalat dan menumpas musuh Engkau." (Hadits).
Dalam praktek kepemimpinan Islam, menurut Sunnah, bahwa yang biasa melakukan shalat Jum'at berjama'ah dengan kaum Muslimin dan yang membaca khutbah kepada mereka adalah panglima perang yang kedudukan mereka adalah mewakili kekuasaan di kalangan tentara. Karenanya, tatkala Nabi Muhammad saw menyuruh Abu Bakar tampil menjadi Imam dalam shalat, maka kaum Muslimin mengangkatnya pula kemudian, sebagai pemimpin perang dan jabatan yang lain.
Adalah menjadi kebiasaan Nabi Muhammad saw, bila beliau mengangkat seseorang untuk jadi panglima perang, disuruhnya orang itu menjadi Imam shalat bagi para sahabatnya. Demikian pula bila beliau mengangkat seorang wakil yang diberinya kekuasaan atas suatu kota, seperti 'Attab bin Asad atas kota Makkah, Usman bin Abil Ash bagi kota Thaif, Ali, Mu'az, Abu Musa atas Yaman, Umar bin Hazam bagi kota Najran, maka adalah para wali kota itu yang memimpin shalat dengan orang banyak, dan merekalah yang menentukan undang-undang dan hukum di antara mereka, seperti apa yang dilakukan oleh seorang panglima perang. Demikian juga para khalifah setelah beliau, dan orang-orang yang datang kemudian lagi, yakni para raja kaum Bani Umayyah dan Bani Abbas.


B. Tujuan pokok kepemimpinan Islam
Dari kenyataan itu Ibnu Taimiyyah menegaskan, "Maka tujuan pokok bagi kepemimpinan ialah memperbaiki agama orang banyak yang apabila agama itu luput dari mereka maka rugilah mereka bukan kepalang, dan tidak ada manfaatnya nikmat-nikmat duniawi yang mereka kecap. Juga termasuk tujuan wajib adalah memperbaiki segi-segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama. Dan itu ada dua macam. Pertama, membagikan harta antara siapa-siapa yang berhak menerimanya. Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang."
Dengan tujuan kepemimpinan seperti itu maka Umar bin Khatthab berkata:
"Sesungguhnya saya telah mengutus gubernur-gubernurku kepadamu semua agar mereka mengajarkan Kitab Tuhanmu dan Sunnah Nabimu, dan agar mereka menegakkan agamamu di tengah-tengah kamu sekalian.
Eratnya hubungan antara kepemimpinan dan penegakan agama menjadikan pemimpin itu sangat dicintai oleh Allah apabila menegakkan agama, dan sangat dibenci apabila menyelisihi agama.
Dalam hadits disebutkan:
"Ahabbul khalqi ilalloohi imaamun 'aadilun, wa abghodhuhum ilaihi imaamun jaair."
"Makhluq yang paling dicintai Allah adalah Imam (pemimpin) yang adil, dan yang paling dibenci oleh Allah adalah Imam yang dzalim." (al-hadits).
"Penduduk surga itu ada tiga macam: Sultan yang adil, dan laki-laki yang berhati pengasih kepada kaum kerabat dan kepada orang Islam, dan orang kaya yang bersih hidupnya (terpelihara dari zina) lagi suka bersedekah." (HR Muslim dari 'Iyadh bin Hammad).
Pemimpin yang adil di situ adalah orang Muslim yang memimpinnya itu adil sesuai dengan aturan Islam. Tidak mungkin pemimpin atau pun sultan yang kafir dengan kepemimpinan kafir akan masuk surga, walau rakyat menganggapnya adil. Jadi adil di situ adalah mencakup sosoknya itu Muslim, dan kepemimpinannya itu adil secara Islam, karena kaitan dengan surga itu tidak bisa kalau orangnya kafir, atau sistemnya sistem kafir.
Tentang jihad, Ibnu Taimiyyah mengemukakan, tatkala Allah memerintahkan jihad pada jalan-Nya, Dia berfirman, yang artinya:
"Dan perangilah mereka itu sampai tak ada fitnah (kekafiran/ kemusyrikan) lagi, dan agama itu bagi Allah semuanya." (QS Al-Anfal: 39).
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah:
"Ya Rasulallah, seorang laki-laki berperang dengan penuh keberanian dan penuh semangat, serta ada pula yang berperang karena riya' semata, maka manakah di antara mereka itu yang termasuk dalam sabilillah? Rasul menjawab: "Siapa yang berperang untuk keagungan Kalimah Allah yang Maha Tinggi, maka dialah yang berperang pada jalan Allah". (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Berjihad itu konkritnya sebagaimana diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata:
"Kami telah diperintahkan oleh Rasulullah saw agar memukul dengan alat ini -yakni pedang- terhadap siapa yang menyeleweng daripada ini, yakni Al-Qur'an.

C. Pemimpin yang dipilih
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah mengemukakan, untuk mencapai pemimpin yang diinginkan oleh Islam itu maka dipilih yang paling dekat dengan tujuan. Dia kemukakan tentang memimpin shalat, maka dipilihlah orang yang memenuhi syara-syarat seperti kata Nabi saw:
"Orang yang akan mengimami suatu kaum adalah orang yang paling ahli membaca Kitab Allah, maka bila mereka dalam bacaannya itu sama, maka yang lebih alim (tahu) tentang Sunnah Rasul; apabila mereka tentang Sunnah adalah sama, maka hendaklah diangkat jadi imam orang yang lebih dahulu pergi hijrah; jika mereka hijrahnya sama, maka hendaklah diangkat orang yang lebih tua umurnya. Dan janganlah seorang terlalu percaya kepada orang lain yang sedang berkuasa, dan tidak boleh ia (seseorang itu tadi) duduk di (atas kursi) rumahnya (tuan rumah) kecuali dengan izinnya." (HR Muslim).
Apabila antara dua orang masih terdapat sama mahir dan patutnya, sulit ditentukan mana yang lebih mahir di antara keduanya, maka diadakanlah undian untuk memilih keduanya. Hal itu pernah dilakukan oleh Sa'ad bin Abi Waqash dalam peperangan Qadisiyah, ketika mereka bertikai faham tentang siapakah yang akan adzan untuk memanggil orang shalat berjama'ah, karena hendak mengamalkan sabda Rasul saw:
"Sekiranya mereka mengerti akan kelebihan adzan dan saf pertama, kemudian mereka tidak menemukannya kecuali setelah diadakan undian untuk itu, maka mereka pun melakukan undian dengan menggunakan panah." (al-hadits).
Apabila orang-orang yang akan menjalankan perintah Allah itu telah tersusun, tetapi untuk melaksanakannya memerlukan undian, maka berarti pula pemimpin telah memberikan amanah itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Jadi kepemimpinan di dalam Islam dipilih dari segi bobot atau kualitas yang kaitannya dengan penyelenggaraan kepemimpinan, yaitu melaksanakan aturan-aturan Allah di masyarakat. Seleksi bobot itu dipilih yang paling memadai, dan apabila ada dua orang yang sama bobotnya maka diundi. Kepemimpinan pada jenjang-jenjang berikutnya pun seperti itu.
Meskipun demikian, dalam hal kepemimpinan tidak boleh bersikap seperti orang yang ingin meraih shaf pertama dalam shalat. Karena masalah kepemimpinan merupakan amanah yang memikul tanggung jawab berat. Nabi saw menjelaskan kepada Abu Dzar Al-Ghifari:
"Bahwa itu (kepemimpinan) adalah suatu amanah, dan ia di hari kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan cara haq, serta menunaikan kewajiban yang terpikul di atas pundaknya." (HR Muslim).
Bahkan Nabi saw mengemukakan ancaman:
"Tidaklah seorang pemimpin yang dituntut Tuhan supaya memimpin rakyatnya, yang ia mati karena sampai ajalnya- sedangkan ia telah melakukan kecurangan dalam kepemimpinannya itu--, kecuali Allah mengharamkan surga baginya." (HR Muslim).
Karena pentingnya bobot dan tanggung jawab bagi pemimpin, dan kepemimpinan itu berkaitan dengan perbaikan rakyat dan bahkan nasib mereka di akherat, maka para ulama memutuskan ada orang-orang yang tidak dibolehkan jadi pemimpin tertinggi (kepala negara), yaitu:
1. Orang wanita.
2. Orang kafir.
3. Anak kecil yang belum sampai umur.
4. Orang gila.

Imam al-Mawardi mensyaratkan kecakapan (kelayakan untuk dipilih sebagai) pemimpin itu mencakup 7 syarat:
1.  Adil dengan syarat-syarat yang universal.
2.  Ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum.
3.  Sehat inderawi (telinga, mata, dan mulut) hingga ia mampu menangani langsung permasalahan yang telah diketahuinya.
4. Sehat organ tubuh dari cacat yang menghalanginyabertindakdengan sempurna dan cepat.
5. Wawasan yang membuatnya mammpu memimpin rakyat dan mengelola semua kepentingan.
6. Berani dan kesatria yang membuatnya mampumelindungi wilayah negara, dan melawan musuh.
7. Nasab yati berasal dari Quraisy berdasarkan nash-nash yang ada dan ijma' para ulama.
Pemimpin yang memenuhi syarat itu baru sah menjadi pemimpin dengan dua cara:
1. Pemilihan oleh ahlul 'aqdi wal halli (semacam parlemen).
2. Penunjukan imam (khalifah) sebelumnya.
Orang-orang yang memilih imam (ahlul 'aqdi wal halli) itu harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:

1.  Adil dengan segala syarat-syaratnya.
2. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam (khalifah) sesuai dengan syarat-syaratnya.
3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi imam (khalifah), dan paling efektif, serta paling ahli dalam mengelola kepentingan.

D. Tugas pemimpin
Sesuai dengan tujuan dipilihnya imam/ pemimpin yaitu untuk menerapkan aturan Allah di dalam masyarakat, maka Al-Mawardi menjadikan tugas nomor satu khalifah adalah:
Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang telah ditetapkan, dan hal-hal yang disepakati oleh salaful ummah (generasi awal Islam). Apabila muncul pembuat bid'ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan, dan ummat terlindungi dariusaha penyesatan.
Di samping tugas utama seperti itu masih ada 9 tugas lagi bagi imam/ khalifah yaitu:
1. Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara.
2. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci.
3. Menegakkan hukum.
4. Melindungi daerah-daerah perbatasan.
5. Memerangi orang yang menentang Islam.
6. Mengambil fai' dan sedekah (termasuk zakat).
7. Menentukan gaji dan keperluan baitul mal.
8. Mengangkat orang-orang terkatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi keuangan, agar tugas-tugas dikerjakan oleh orang-orang ahli, sedang keuangan oleh orang-orang yang jujur.
9. Terjun langsung menangani aneka persoalan, memeriksa keadaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama.

2 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar, umat islam telah tertipu dengan cara demokrasi kafir padahal yang disyariatkan oleh islam adalah melalui prinsip syura dalam membangun peradaban suatau bangsa, kalau ini diterapkan dengan sempurna maka islam akan kembali jaya, dan akan tercipta kedamaian yang abadi....

      Hapus